“Sing jenenge hama, nek wayahe leren lak yo
leren dhewe”, begitu ujar orang-orang tua di desa kami beberapa waktu lalu
yang mungkin saja berkaca dari pengalamannya bercocok tanam selama ini.
Musim panen ini, sebenarnya kami juga masih belum terlepas dari wabah yang mendera. Setelah wabah tikus yang menyerang sendi perekonomian kami, kini datang lagi wabah yang melumpuhkan lebih banyak sendi. Tak hanya kesehatan yang menjadi akar wabah berasal, ekonomi dan sosial-keagamaan juga digerogoti, meski belum sampai membuat kami lumpuh. Wabah yang membuat aktivitas di kota mati kutu, hanya bisa kami ketahui lewat siaran berita televisi dan penyemprotan disinfektan oleh satgas desa yang berlanjut menjadi bahan rerasan warung di malam hari.
“Lha ape mangan opo nek
dikongkon ning omah ae?”
“Trus sing nebas gabahku
sopo?”
“Pilih mati kaliren, opo
mati penyakiten?”
“Yo ben sing nang kutho
ae, ojo oleh muleh. Deso ben aman ra enek piye-piye”
“Jare viruse mati nek
kenek panas? ben dino awak dhewe lak manas ning sawah, lak wis kebal?”
“Ee.. Gak oleh metu
yowes, wong ben dino yo ora tau metu”
Meski
juga diliputi rasa kuatir, orang-orang di desa kami seolah tak peduli dengan
wabah yang katanya berasal dari china itu. Nyatanya, aktivitas musim panen sama
sekali tak berkurang. Orang-orang masih berlalu-lalang. Warung kopi juga masih
ramai, meski tak sampai larut karena dibatasi jam malam. Kehidupan masih berjalan
normal. Masalah kesehatan adalah nomor kesekian bagi orang desa, yang utama
adalah makan. Kami terbiasa berbasah seharian di air berlumpur yang kotor
ketika ndaut, tak peduli penyakit
kulit yang langganan menempel. Kami juga terbiasa dengan udara kotor saat ngedos atau menjemur gabah meski batuk
dan gatal seringkali mengganggu.
Kemudian
kabar itu datang juga, meski masih berupa desas-desus, tiga hari yang lalu.
Tetangga desa ada yang kena wabah penyakit menular yang belum ada obatnya itu.
Kabarnya dia baru pulang dari daerah merah.
“Kabare Positip!”.
“Lahopo mulih bereng?
Jare nok Tipi ora leh mulih kok!”
“Lha mbok kon mangan opo
nang kono?”
“Lha ape mbok ke’i mangan
piye nang kene?”
“Halah, lagek jare!”
“Ra ngandel yowis!”
Pamong
desa bergerak sigap seperti komando operasi militer, mendayagunakan seluruh
level perangkat kerjanya. Kumpul-kumpul segera dihentikan, kegiatan keagamaan
berjamaah ditangguhkan, kenduri dibatasi, penyemprotan disinfektan dilakukan
hampir tiap hari.
Orang-orang
kelabakan mengunci diri, warung-warung sepi. Bersyukur yang sudah panen. Bagi
yang belum, tak bisa lagi mencari pembeli. Kegembiraan musim panen telah habis
sebelum waktunya. Para pemuka agama juga menangis meratap, sebabnya Ramadhan
sudah dekat.
Desa
kami menjadi desa mati, tak ada lagi desas-desus dan obrolan warung kopi. Tak
ada waktu rerasan untuk memastikan
apakah pekabar itu hanya desas-desus atau memang benar adanya. Toh, kami sudah
tidak peduli lagi. Kini, kami terbayangi oleh berita di televisi tentang sebuah
kota yang mati terkena wabah ini. Kami hanya bisa bersenjatakan omongan
orang-orang tua yang harus kami yakini ketika terjadi wabah; wabah kedua kami
di tahun ini.
“Sing jenenge hama, nek wayahe leren lak yo
leren dhewe”.
Kami
takut mati. Atau setidak-tidaknya, takut ditakut-takuti mati.
Bojonegoro, 18/04/2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar