Selamat Datang di Taman Sunyi

..hanya sunyi, yang sanggup mengajarkan kita, untuk tak mendua...” ― Emha Ainun Nadjib

Sabtu, April 18, 2020

Wabah Kedua

Hilir-mudik orang berlalu-lalang di desa kami, beberapa menggerombol di tepi jalan, beberapa juga singgah di warung dan menikmati minuman yang di pesan, entah es atau kopi, ramai sekali. Tidak setiap waktu desa kami menjadi ramai. Hanya ketika lebaran, perayaan Nyadran dan Agustusan, atau ketika musim panen tiba, seperti kali ini. Bulan ini kami memasuki musim panen padi, setelah tiga bulan lebih pontang-panting menghadapi tikus yang mewabah. Sudah beragam cara ditempuh untuk mengatasi; Pembuatan parit, pengobatan Pestisida, hingga berramai-ramai berburu tikus di malam hari, tak juga berhasil mengurangi populasi tikus yang kian hari kian liar mengoyak batang padi. Hingga tiba masanya, wabah tikus perlahan berhenti juga, tak satupun dari kami yang tahu pasti penyebabnya.

Sing jenenge hama, nek wayahe leren lak yo leren dhewe”, begitu ujar orang-orang tua di desa kami beberapa waktu lalu yang mungkin saja berkaca dari pengalamannya bercocok tanam selama ini.

Musim panen ini, sebenarnya kami juga masih belum terlepas dari wabah yang mendera. Setelah wabah tikus yang menyerang sendi perekonomian kami, kini datang lagi wabah yang melumpuhkan lebih banyak sendi. Tak hanya kesehatan yang menjadi akar wabah berasal, ekonomi dan sosial-keagamaan juga digerogoti, meski belum sampai membuat kami lumpuh. Wabah yang membuat aktivitas di kota mati kutu, hanya bisa kami ketahui lewat siaran berita televisi dan penyemprotan disinfektan oleh satgas desa yang berlanjut menjadi bahan rerasan warung di malam hari.

“Lha ape mangan opo nek dikongkon ning omah ae?”
“Trus sing nebas gabahku sopo?”
“Pilih mati kaliren, opo mati penyakiten?”
“Yo ben sing nang kutho ae, ojo oleh muleh. Deso ben aman ra enek piye-piye”
“Jare viruse mati nek kenek panas? ben dino awak dhewe lak manas ning sawah, lak wis kebal?”
“Ee.. Gak oleh metu yowes, wong ben dino yo ora tau metu”

Meski juga diliputi rasa kuatir, orang-orang di desa kami seolah tak peduli dengan wabah yang katanya berasal dari china itu. Nyatanya, aktivitas musim panen sama sekali tak berkurang. Orang-orang masih berlalu-lalang. Warung kopi juga masih ramai, meski tak sampai larut karena dibatasi jam malam. Kehidupan masih berjalan normal. Masalah kesehatan adalah nomor kesekian bagi orang desa, yang utama adalah makan. Kami terbiasa berbasah seharian di air berlumpur yang kotor ketika ndaut, tak peduli penyakit kulit yang langganan menempel. Kami juga terbiasa dengan udara kotor saat ngedos atau menjemur gabah meski batuk dan gatal seringkali mengganggu.

Kemudian kabar itu datang juga, meski masih berupa desas-desus, tiga hari yang lalu. Tetangga desa ada yang kena wabah penyakit menular yang belum ada obatnya itu. Kabarnya dia baru pulang dari daerah merah.

“Kabare Positip!”.
“Lahopo mulih bereng? Jare nok Tipi ora leh mulih kok!”
“Lha mbok kon mangan opo nang kono?”
“Lha ape mbok ke’i mangan piye nang kene?”
“Halah, lagek jare!”
“Ra ngandel yowis!”

Pamong desa bergerak sigap seperti komando operasi militer, mendayagunakan seluruh level perangkat kerjanya. Kumpul-kumpul segera dihentikan, kegiatan keagamaan berjamaah ditangguhkan, kenduri dibatasi, penyemprotan disinfektan dilakukan hampir tiap hari.
Orang-orang kelabakan mengunci diri, warung-warung sepi. Bersyukur yang sudah panen. Bagi yang belum, tak bisa lagi mencari pembeli. Kegembiraan musim panen telah habis sebelum waktunya. Para pemuka agama juga menangis meratap, sebabnya Ramadhan sudah dekat.

Desa kami menjadi desa mati, tak ada lagi desas-desus dan obrolan warung kopi. Tak ada waktu rerasan untuk memastikan apakah pekabar itu hanya desas-desus atau memang benar adanya. Toh, kami sudah tidak peduli lagi. Kini, kami terbayangi oleh berita di televisi tentang sebuah kota yang mati terkena wabah ini. Kami hanya bisa bersenjatakan omongan orang-orang tua yang harus kami yakini ketika terjadi wabah; wabah kedua kami di tahun ini.
Sing jenenge hama, nek wayahe leren lak yo leren dhewe”.

Kami takut mati. Atau setidak-tidaknya, takut ditakut-takuti mati.


Bojonegoro, 18/04/2020


Tidak ada komentar:

Posting Komentar