Istriku, mungkin saja, engkau tak menyadari, kala hatiku sedikit menahan bola mata untuk lebih lama memandang raut wajahmu. Di sepanjang perjalanan, pergi dan pulang, atau kala singgah di beberapa tempat yang sempat waktu kita habiskan, engkaulah yang menjadi arah pandangku, pandang mata dan hatiku.
Istriku, aku sangat tahu, engkau telah menantikan perjalanan ini cukup lama, sudah jauh hari engkau begitu bersemangat merencanakan segala sesuatunya.
Tapi memang, hanya rencana saja yang manusia mampu mengatur, lain dengan nyatanya, karena itu mutlak kewenangan Tuhan. Meski engkau telah berupaya keras, aku tahu, raga dan jiwamu tak cukup kuat memainkan lakon yang engkau rencanakan sendiri.
Istriku, meski aku tak sepenuhnya tahu betapa rasa yang diemban seorang ibu, tapi wajahmu seolah berbicara, betapa janin yang mulai tumbuh dalam rahimmu, janin yang ingin melakukan perjalanan bersama kita, cukup membuatmu tidak leluasa untuk bergerak bebas. Dan aku turut memperhatikan itu. Perhatianku sebagai suami dan calon ayah, untuk melindungmu dan anak yang kini engkau kandung.
Istriku, aku sungguh sayang padamu, lebih dari yang engkau ketahui selama ini, merujuk pada sikap tak acuh yang memang menjadi bawaan, bahkan aku, jauh dari idealnya sosok suami yang engkau idamkan sejak beranjak gadis. Aku hanya mampu memperhatikan wajahmu kala engkau dalam lelap, tanpa sedikitpun tahu apa yang bisa aku lakukan untuk menghapus lelah yang kau rasakan. Hanya harap yang selalu kujaga dalam benakku, harap yang semakin membumbung tinggi dan tak pernah surut; Agar engkau kuat, agar jabang bayi kita kuat. Hanya itu istriku, bekal yang amat kuharap untuk kita tapaki bersama, bertiga, hingga tangis pertamanya terdengar nyaring memberi salam pada dunia. Dan kemudian airmata dan senyum saling bercumbuan di wajah kita masing-masing, mengiringi suara bangga dari mulut kita yang bebarengan berucap: "Anakku!!".
>>selepas perjalanan panjang bo-gor, Agustus 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar