Selamat Datang di Taman Sunyi

..hanya sunyi, yang sanggup mengajarkan kita, untuk tak mendua...” ― Emha Ainun Nadjib

Kamis, Desember 31, 2015

The end of starting point

Sepertinya sudah cukup. Untuk menutup tahun dengan beberapa perubahan besar. Aku, yang selama ini sepenuhnya sendiri, memutuskan untuk berbagi. Aku harus merelakan sebagian dari diriku hilang, untuk kuisi dengan sebagian dari diri orang lain.
Bahwa ini adalah sepenuhnya keinginanku sendiri? Tentu saja. Untuk orang yang ingin menghidupkan hidupnya, berubah adalah sebuah keniscayaan. Dan aku memilih untuk melepas dan kemudian mengisi bagian dari diriku dengan diri yang lain sebagai perubahanku. Memang, perubahan itu menuntut banyak perubahan lain sebagai konsekwensi yang harus kutanggung. Karena itulah, banyak perubahan lain yang harus kubuat dan terima pada tahun ini, anggap saja hal itu sebuah bentuk pengorbanan.
Sampai pada hari terakhir di tahun ini, bagiku semua perubahan itu sudah cukup. Tak perlu ada lagi perubahan untuk tahun depan atau depannya lagi. Aku hanya tinggal melanjutkan dan memoles saja. Hingga separuh diriku yang kulepas, bisa benar-benar hilang dan terisi dengan yang lain.
Dan jika itu telah terwujud, maka tak akan ada lagi istilah pengorbanan. Hanya perjalanan yang akan terus berlanjut dan berlanjut, sampai aku benar-benar lupa, ada akhir yang telah bersiap menanti di ujung jalan.

>>daN
>>Wedi, 31/12/15

Jumat, Oktober 09, 2015

Menyulam Asa dengan Benang Takdir


Seolah-olah sudah terbiasa, langkah kecilku, acapkali kuayunkan ringan pada tali takdirMu.
Tak sebersit pun ada, kehendak untuk memaknai, lebih-lebih mencoba berhitung, tentang kuasa apa yang Engkau pilih untuk menggarisi lajur nasibku.
Jalan hidupku, kuanggap terlampau kecil jika dibanding luasnya cakup singgasanaMu.

Seperti anak kecil yang bergelayut manja pada lengan ibunya, akupun menurut saja.
Seperti pengembara yang kehilangan jejak di belantara hutan, aku juga pasrah saja.
Hingga beberapa waktu belakangan, kala Engkau hadirkan kehidupan baru pada tarikan nafas yang kemudian terhela dalam tapak kecil langkahku, akupun mulai berani berharap, untuk sekadarnya saja, turut menyulam benang takdir yang telah Engkau berikan padaku belakangan.

Aku ingin melangkah dengan mata terbuka, meraba-raba makna untuk kemudian kujaga, lantas kugunakan sebagai bekal menyulam.
Sungguh, bukan karena aku tak percaya kuasa mutlakMu, aku hanya ingin membuktikan pada diriku sendiri, seberapa layak mendapat kepercayaan dariMu.

Semoga Engkau berkenan.



>>Bojonegoro; Oktober 08, 2015

Rabu, September 09, 2015

Sepanjang jalan, seluas mata pandang

Istriku, mungkin saja, engkau tak menyadari, kala hatiku sedikit menahan bola mata untuk lebih lama memandang raut wajahmu. Di sepanjang perjalanan, pergi dan pulang, atau kala singgah di beberapa tempat yang sempat waktu kita habiskan, engkaulah yang menjadi arah pandangku, pandang mata dan hatiku.
Istriku, aku sangat tahu, engkau telah menantikan perjalanan ini cukup lama, sudah jauh hari engkau begitu bersemangat merencanakan segala sesuatunya.
Tapi memang, hanya rencana saja yang manusia mampu mengatur, lain dengan nyatanya, karena itu mutlak kewenangan Tuhan. Meski engkau telah berupaya keras, aku tahu, raga dan jiwamu tak cukup kuat memainkan lakon yang engkau rencanakan sendiri.
Istriku, meski aku tak sepenuhnya tahu betapa rasa yang diemban seorang ibu, tapi wajahmu seolah berbicara, betapa janin yang mulai tumbuh dalam rahimmu, janin yang ingin melakukan perjalanan bersama kita, cukup membuatmu tidak leluasa untuk bergerak bebas. Dan aku turut memperhatikan itu. Perhatianku sebagai suami dan calon ayah, untuk melindungmu dan anak yang kini engkau kandung.
Istriku, aku sungguh sayang padamu, lebih dari yang engkau ketahui selama ini, merujuk pada sikap tak acuh yang memang menjadi bawaan, bahkan aku, jauh dari idealnya sosok suami yang engkau idamkan sejak beranjak gadis. Aku hanya mampu memperhatikan wajahmu kala engkau dalam lelap, tanpa sedikitpun tahu apa yang bisa aku lakukan untuk menghapus lelah yang kau rasakan. Hanya harap yang selalu kujaga dalam benakku, harap yang semakin membumbung tinggi dan tak pernah surut; Agar engkau kuat, agar jabang bayi kita kuat. Hanya itu istriku, bekal yang amat kuharap untuk kita tapaki bersama, bertiga, hingga tangis pertamanya terdengar nyaring memberi salam pada dunia. Dan kemudian airmata dan senyum saling bercumbuan di wajah kita masing-masing, mengiringi suara bangga dari mulut kita yang bebarengan berucap: "Anakku!!".

>>selepas perjalanan panjang bo-gor, Agustus 2015