Selamat Datang di Taman Sunyi

..hanya sunyi, yang sanggup mengajarkan kita, untuk tak mendua...” ― Emha Ainun Nadjib

Selasa, November 26, 2013

Paejo pengen nyalon Lurah!


Pilkades, akhir-akhir ini ini menjadi rasan-rasan favorit sebagai teman ngopi di Desa saya. Di hampir setiap warung di seluruh penjuru Desa, selalu muncul bahasan menarik tentangnya. Memang, Desa saya adalah satu dari 149 Desa yang  Pak Lurahnya mau habis masa jabatannya.

“Lurah itu harus bisa memayu hayuning bawana,bukan Cuma hayuning bateh”, ada yang berkoar demikian di warung mbok paenah, sebagai syarat untuk calon Lurah yang akan datang.

“ah, yang penting dia manusia, bukan tikus”,ujar seorang yang lain lagi menimpali.

Lalu disusul pernyataan-pernyataan lanjutan yang menggelikan tentang peluang, itungan untung-rugi, manuver-manuver politik para Botoh, dan tentu saja tentang siapa calon yang depositonya paling banyak, atau juga berapa biaya yang harus dikeluarkan saat pendaftaran.

 “Uang terop itu diskriminatif, gak memihak orang miskin”, Paejo, yang dari tadi ndepipis di pojokan, tiba-tiba menyela dengan bahasa inteleknya. Paejo memang dikenal sebagai otodidak yang suka memakai istilah-istilah asing layaknya debat politik di TV.

“bukan uang terop jo, tapi sumbangan pihak ketiga”, salah seorang mencoba membenarkan.

“Ah, kenapa selalu ketiga yang dipake sebagai dalih dan kemudian dijadikan sasaran pembenaran? Pihak ketiga, Negara Dunia Ketiga, Musim Ketiga, bahkan bulan ketiga, bagi sebagian orang yang merayakan hari kasih saying di bulan kedua, selalu menjadi negasi dari sebuah kepentingan. Bukankah Uang terop atau apapun nama dan bentuknya, tetap mengharuskan calon untuk mengeluarkan biaya? Dulu, ketika ada orang mau nyalon Lurah, para Botoh dengan kerelaan hati urunan untuk membantu modal. Orang-orang merasa ikut memiliki gawe, sengkuyungan mencari sosok terbaik pemimpin desanya. Lha sekarang ini, botoh iku malah njaluk dikopeni, dirokoki, bahkan dipulsani untuk mbantu calon nyari dukungan. Itulah sebabnya, banyak calon yang, ketika sudah jadi,  sibuk nyaur utang modal pencalonannya dulu.”

Warung yang tadinya rame oleh suara orang yang saling adu argument, kini tiba-tiba saja senyap dipenuhi suara paejo seorang.

“Jaman telah berubah, budaya pun juga berubah”, Paejo meneruskan ceramahnya sambil mengambil rokok kretek amatir dari toples di meja warung mbok paenah.

“Pemerintah seharusnya mengantisipasi perubahan ini dengan tepat, bukan hanya sekedar mengganti istilah yang secara esensi masih sama seperti aturan yang sudah-sudah. Bahkan, mereka cenderung lebih menyukai perubahan yang empiris dan populis. Tiap tahun muncul slogan-slogan baru dengan praktek lama. Bangkit, Matoh, Ayo, ataupun tahun Kualitas, hanya menjadi jargon-jargon yang sugestif belaka, nyatanya tidak ada perubahan yang benar-benar ada, justru tatanan malah semakin absurd akibat perubahan yang ndak jelas itu. Sepertinya, kita harus membenarkan perhitungan kalender orang tionghoa, jika tahun ini adalah tahun Ular Air, simbol ketidakjelasan.”

Omongan paejo semakin lama semakin ngelantur kesana kemari, mulai dari Banjir yang tiap tahun melakukan kunjungan rutin tapi tidak disambut dengan baik, Ancaman gagal panen oleh hama wereng, hingga rencana pembangunan masjid agung yang kabarnya dianggarkan mencapai  Miliar. Orang warung yang sebenarnya dari awal sudah tidak faham dengan istilah-istilah yang dipake paejo, tapi macak menggut-manggut mengerti biar terlihat pintar, satu persatu mulai gak tahan dan meninggalkan warung. Buyar.

Keesokan harinya, rame desas-desus di seluruh penjuru Desa tentang Paejo yang pengen nyalon Lurah. Orang-orang warung yang kemarin macak faham omongan Paejo lah sumber desas-desus ini. Mereka berasumsi bahwa Paejo ngomong panjang lebar itu karena pengen nyalon Lurah,tapi ndak punya modal. Kere pengen munggah bale!

Sejatinya, andaikan aturan sumbangan pihak ketiga itu nantinya diubah, Paejo tetap tidak bisa nyalon, ijazah formalnya SD.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar