Pilkades, akhir-akhir ini ini menjadi
rasan-rasan favorit sebagai teman ngopi di Desa saya. Di hampir setiap warung
di seluruh penjuru Desa, selalu muncul bahasan menarik tentangnya. Memang, Desa
saya adalah satu dari 149 Desa yang Pak
Lurahnya mau habis masa jabatannya.
“Lurah itu harus bisa memayu hayuning bawana,bukan Cuma hayuning
bateh”, ada yang berkoar demikian di warung mbok paenah, sebagai syarat untuk
calon Lurah yang akan datang.
“ah, yang penting dia manusia, bukan tikus”,ujar seorang yang lain
lagi menimpali.
Lalu disusul pernyataan-pernyataan lanjutan yang menggelikan
tentang peluang, itungan untung-rugi, manuver-manuver politik para Botoh, dan
tentu saja tentang siapa calon yang depositonya paling banyak, atau juga berapa
biaya yang harus dikeluarkan saat pendaftaran.
“Uang terop itu
diskriminatif, gak memihak orang miskin”, Paejo, yang dari tadi ndepipis di
pojokan, tiba-tiba menyela dengan bahasa inteleknya. Paejo memang dikenal
sebagai otodidak yang suka memakai istilah-istilah asing layaknya debat politik
di TV.
“Ah, kenapa selalu ketiga yang dipake sebagai dalih dan kemudian
dijadikan sasaran pembenaran? Pihak ketiga, Negara Dunia Ketiga, Musim Ketiga,
bahkan bulan ketiga, bagi sebagian orang yang merayakan hari kasih saying di
bulan kedua, selalu menjadi negasi dari sebuah kepentingan. Bukankah Uang terop
atau apapun nama dan bentuknya, tetap mengharuskan calon untuk mengeluarkan
biaya? Dulu, ketika ada orang mau nyalon Lurah, para Botoh dengan kerelaan hati
urunan untuk membantu modal. Orang-orang merasa ikut memiliki gawe, sengkuyungan
mencari sosok terbaik pemimpin desanya. Lha sekarang ini, botoh iku malah
njaluk dikopeni, dirokoki, bahkan dipulsani untuk mbantu calon nyari dukungan.
Itulah sebabnya, banyak calon yang, ketika sudah jadi, sibuk nyaur utang modal pencalonannya dulu.”
Warung yang tadinya rame oleh suara orang yang saling adu argument,
kini tiba-tiba saja senyap dipenuhi suara paejo seorang.
“Jaman telah berubah, budaya pun juga berubah”, Paejo meneruskan
ceramahnya sambil mengambil rokok kretek amatir dari toples di meja warung mbok
paenah.
“Pemerintah seharusnya mengantisipasi perubahan ini dengan tepat,
bukan hanya sekedar mengganti istilah yang secara esensi masih sama seperti
aturan yang sudah-sudah. Bahkan, mereka cenderung lebih menyukai perubahan yang
empiris dan populis. Tiap tahun muncul slogan-slogan baru dengan praktek lama.
Bangkit, Matoh, Ayo, ataupun tahun Kualitas, hanya menjadi jargon-jargon yang
sugestif belaka, nyatanya tidak ada perubahan yang benar-benar ada, justru
tatanan malah semakin absurd akibat perubahan yang ndak jelas itu. Sepertinya, kita
harus membenarkan perhitungan kalender orang tionghoa, jika tahun ini adalah
tahun Ular Air, simbol ketidakjelasan.”
Omongan paejo semakin lama semakin ngelantur kesana kemari, mulai
dari Banjir yang tiap tahun melakukan kunjungan rutin tapi tidak disambut
dengan baik, Ancaman gagal panen oleh hama wereng, hingga rencana pembangunan
masjid agung yang kabarnya dianggarkan mencapai
Miliar. Orang warung yang sebenarnya dari awal sudah tidak faham dengan
istilah-istilah yang dipake paejo, tapi macak menggut-manggut mengerti biar
terlihat pintar, satu persatu mulai gak tahan dan meninggalkan warung. Buyar.
Keesokan harinya, rame desas-desus di seluruh penjuru Desa tentang
Paejo yang pengen nyalon Lurah. Orang-orang warung yang kemarin macak faham
omongan Paejo lah sumber desas-desus ini. Mereka berasumsi bahwa Paejo ngomong
panjang lebar itu karena pengen nyalon Lurah,tapi ndak punya modal. Kere pengen
munggah bale!
Sejatinya, andaikan aturan sumbangan pihak ketiga itu nantinya
diubah, Paejo tetap tidak bisa nyalon, ijazah formalnya SD.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar