Pilkades, akhir-akhir ini ini menjadi
rasan-rasan favorit sebagai teman ngopi di Desa saya. Di hampir setiap warung
di seluruh penjuru Desa, selalu muncul bahasan menarik tentangnya. Memang, Desa
saya adalah satu dari 149 Desa yang Pak
Lurahnya mau habis masa jabatannya.
“Lurah itu harus bisa memayu hayuning bawana,bukan Cuma hayuning
bateh”, ada yang berkoar demikian di warung mbok paenah, sebagai syarat untuk
calon Lurah yang akan datang.
“ah, yang penting dia manusia, bukan tikus”,ujar seorang yang lain
lagi menimpali.
Lalu disusul pernyataan-pernyataan lanjutan yang menggelikan
tentang peluang, itungan untung-rugi, manuver-manuver politik para Botoh, dan
tentu saja tentang siapa calon yang depositonya paling banyak, atau juga berapa
biaya yang harus dikeluarkan saat pendaftaran.
“Uang terop itu
diskriminatif, gak memihak orang miskin”, Paejo, yang dari tadi ndepipis di
pojokan, tiba-tiba menyela dengan bahasa inteleknya. Paejo memang dikenal
sebagai otodidak yang suka memakai istilah-istilah asing layaknya debat politik
di TV.