Selamat Datang di Taman Sunyi

..hanya sunyi, yang sanggup mengajarkan kita, untuk tak mendua...” ― Emha Ainun Nadjib

Selasa, Mei 31, 2016

Dalam Gendongan Seorang Penyair

Dalam gendongan seorang penyair,
engkau tenang
meringkuk dalam lelap
Bening wajah yang bersemu merah,
menjelma bulir cahaya yang
siap kau jajakan kelak

Dalam gendongan seorang penyair,
rapal do'a
meruap dari kerumunan
Air muka dari bermacam rupa,
menuliskan sendiri harapnya
atas hidupmu

Hadirmu telah dinanti lama memang,
Bebareng penantian para petani kampung pada hujan
di musim tanam

Melaksa bulir-bulir air yang jatuh dari celah-celah langit,
engkau tawarkan kegembiraan pada
wajah-wajah yang riang

Engkau adalah rintik hujan yang
turun di pagi hari,
Yang bulir airnya bening
bercahaya dicium matahari

Dan kemudian kau jajakan
dari rumah ke rumah,
Tak habis-habisnya kau bagi.

>>selamat datang di dunia, anakku: Andamar Ahmad Qotrul Ghoits.

Selasa, Februari 09, 2016

Menyumpahi Diri Sendiri

Semalam, dengan tiba-tiba saja saya ingin meluapkan apa yang sebenarnya  telah lama menggumpal di otak saya. Gumpalan yang sebenarnya tak bertuan, tak bertujuan. Oleh karenanya, saya butuh tuan yang saya tuju untuk memecah gumpalan itu keluar dari pikiran saya.
Sebenarnya kebetulan saja, semalam ada beberapa orang yang seperti Ulo marani penthung, semacam menyediakan dirinya untuk merebah di altar, tepat di bawah pancung yang siap jatuh dan melepas kepala mereka dari badan yang selama ini memanggulnya, menggelinding jatuh diiringi muncratnya darah segar semerah saga, biji tumbuhan rambat yang biasa dipakai untuk obat sariawan.
Kata-kata yang keluar dari saya semalam memang tak beraturan, persis seperti orang yang sedang sariawan. Dan seperti halnya orang yang sedang sariawan, mengeluarkan kata-kata itupun terasa perih, pedih. Pedih, karena saya merasa terluka. Dan pedih, karena bukan mereka yang sebenarnya harus dituju untuk menjadi tuannya.
Ah, apapun itu, toh, saya sedikit menjadi lega. Gumpalan itu serta-merta pecah, remuk seperti abu batu yang kini sedang digemari oleh para pekerja proyek. Murah dan irit semen. Saya pun merasa tidak perlu meminta maaf kepada tuan-tuan yang menjadi martir atas pecahnya gumpalan itu. Karena, seperti halnya gumpalan tadi, Ulo marani penthung pun sejatinya butuh Penthungan bukan? Meski toh Penthungan itu bisa saja melenyapkan nyawanya, paling tidak, mereka tahu ada yang salah dengan sarang tempat mereka meringkuk malas di dalamnya. Semoga saja.