Selamat Datang di Taman Sunyi

..hanya sunyi, yang sanggup mengajarkan kita, untuk tak mendua...” ― Emha Ainun Nadjib

Sabtu, Desember 06, 2014

3265 Mdpl


Di bawah purnama,
Berlindung ku dari hawa dingin di balik tenda.
Segelas kopi panas kureguk,
Berharap cairnya balok es yang mengganjal tenggorokan.
Sepertinya beku.
Angin gunung musim kemarau memang lebih menyiksa pori.
Bahkan jika boleh memilih,
Turunnya hujan lebih kudamba,
Meski harus basah kuyup karenanya.

3265 Meter.
Jarak kira-kira Hargo Dumilah dengan riak samudera yang berkilat keperakan.
Ragaku mati rasa,
Lain jiwaku.
Tapak demi tapak,
Membekas di jalan berbatu dan selalu menanjak.

Jalak Lawu menatap waspada.
Tajam.
"Ini rumahku, bersikaplah ramah."

Dan aku menunduk.
Selalu menunduk.
Bahkan di Puncak sekalipun,
Aku tetap menunduk.

Lawu, 8-9 Agustus 2014


Jumat, November 21, 2014

Setengah perjalanan kurang sedikit

Dari atas jog motor vixion pinjaman adek, bersama tiga kawan, saya telusuri jalanan panas di hari Jum'at- seperti piweling akan panasnya padang mahsyar, begitu orang-orang suci mengibaratkan. (Apakah hanya dengan menerabas panasnya hari jum'at, saya juga berani menantang panasnya mahsyar?? Pikir-pikir juga). Sudah 130/140km jarak yang saya lalui. Kepanasan?? Tentu saja. Tapi hanya di punggung tangan dan punggung kaki yang merasakan panasnya sinar matahari yang meruap di atas aspal. Ya, memang hanya kedua bagian tubuh itulah yang tak terbungkus pelindung. Saya tidak begitu akrab dengan sepatu memang. Serta sarung tangan. Dan di kilometer 130 atau 140 inilah saya berhenti untuk berteduh mendinginkan tubuh. Saya dan kawan-kawan menepi dari jalanan yang dipenuhi truk tronton, dump truck, bis kota, bis antar kota, mobil sedan, jeep, van, hingga sepeda motor dan sepeda pancal. Ada juga becak yang beberapa kali sempat melintas. Mata saya jadi panas. Lalu naik ke ubun-ubun. Air es yang tereguk tak cukup ampuh mendinginkan. Bagaimana tidak? Dengan melihatnya saja saya jadi langsung membayangkan. Betapa macet dan lamanya jarak yg harus saya tempuh lagi di jum'at panas ini. Padahal jarak masih setengah perjalanan lebih sedikit. Ah, andai saja saya berhenti di tengah perjalanan lebih sedikit, tentu sisanya tinggal setengah perjalanan kurang sedikit. Sedikit, entah lebih atau kurang, menjadi terasa amat berarti. Seperti halnya putaran dadu dalam permainan Lets Get Rich (Monopoly Online). Angka satu, entah kurang atau lebih, akan sangat menentukan apakah kita mendapat marble atau membayar ke lawan. Bahkan langsung bankrupt. Deretan tronton yang merayap, seolah-olah Landmark kota lawan yang menarik kita untuk singgah. Semangat menempuh sisa perjalanan menjadi berkurang. Bahkan bisa saja bangkrut. Semoga saja tidak.

(Jum'at yang tak ramah, sebelum pandaan)

Selasa, Januari 28, 2014

Jeda

Saya hanya ingin berucap terimakasih, atas bentuk jeda yang Engkau berikan kali ini. Sungguh, jeda ini tidak seperti jeda biasanya. Jeda ini juga lebih terasa adanya.
Mungkin, saya memang harus dipaksa menerima jeda dalam bentuk seperti ini. karena, sepertinya saya sudah mulai lupa akan fungsi sebuah spasi.
Ya, kalimat-kalimat saya terlalu panjang. saya terlalu asik memainkan jejeran huruf, atau sekedar menikmati loncatan-loncatan.
Sekali lagi terimakasih,
Langkah ini memang harus dipaksa sejenak berhenti dahulu, agar spasi dapat termaknai dengan benar, agar panjang kalimat tak sebabkan nafas tersengal-sengal mengejar.
Dan.. jika nanti saya lupa lagi, saya siap untuk Kau beri jeda lagi. :-)